Kamis, 08 Desember 2011

Strong Government, Least Government or Efficient Gorvernment

(disarikan dari buku “Kebijakan Publik untuk Negara-Negara Berkembang, oleh Riant Nugroho D)

Sejak abad ke-19, Kita telah terjebak pada obsesi dari teori pembangunan dan teori kekuasaan politik yang diperkenalkan ekonom Adam Smith, The Wealth Nations (1976), tentang “negara kesejahteraan” bahwa tugas negara (pemerintah) adalah menyejahterakan seluruh isi negara (rakyatnya). Sehingga semua urusan dikuasai dan diatur oleh negara, peran negara menjadi dominan dan sangat kuat (strong government). Namun pada akhir abad 20, kita melihat sejumlah negara-negara blok timur mulai Jerman Timur hingga Uni Soviet rontok justru karena mempertahankan gagasan ini.

Setelah gagalnya negara-negara kesejahteraan, lahirlah gagasan libertarian (liberalisme, kapitalisme). Menurut David Boaz, the best government is the least government. Gagasan ini merupakan bentuk untuk memperkecil peran negara (upaya untuk melemahkan pemerintah). Ketika krisis moneter 1997, Lembaga keuangan International IMF mensyaratkan istilah “trio” – privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi - untuk menjadi resep mengatasi krisis di negara-negara berkembang. Dunia mengalami transisi besar dari negara kuat menjadi pasar kuat.

Namun, tragedi 11 September 2001, ketika dua menara kembar WTC, simbol keagungan Amerika Serikat, diluluhlantahkan gerakan radikal anti-hegemoni AS, membuat promotor liberalisasi berfikir kembali. Amerika sadar bahwa ternyata swasta tidak dapat melindungi rakyat. Masalah-masalah terkini seperti AIDS, flu burung, narkoba, perdagangan wanita, kloning dan pemanasan global tidak mungkin diselesaikan dengan baik oleh swasta, melainkan oleh negara dan kerja sama yang baik antara negara-negara.

Itulah sebabnya Bill Clinton (1996) mengatakan bahwa yang diperlukan bukanlah least government tetapi efficient government.
Peter F. Drucker mengatakan bahwa kita hanya mendiskusikan “apa yang seharusnya dilakukan pemerintah”, tetapi tidak pernah mendiskusikan “apa yang dapat dilakukan pemerintah”.

Menurut Drucker, hanya tiga hal yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu:
1. Usaha yang bersifat monopoli.
Artinya jika tidak ada atau tidak dimungkinkan adanya persaingan. Contoh: sebelumnya Kantor Pos adalah satu-satunya pilihan untuk mengirim barang, namun ketika muncul banyak pilihan lain, pemerintah tidak bisa bertahan disitu. Dalam persaingan, pemerintah pasti akan kalah dengan swasta yang relatif mempunyai organisasi yang lebih ramping dan efisien.
2. Usaha yang bersifat selamanya.
Merupakan usaha yang tidak mungkin dibubarkan, dilikuidasi atau dijual ke pihak lain. Kegiatan ini harus tetap ada, meskipun dikatakan ‘usang’.
Contoh: menyelenggarakan pendataan penduduk, mengatur pemilu, menarik pajak dan mengelola keamanan nasional.
3. Usaha yang dianggap sebagai simbol yang suci dan ultimate.
Usaha yang menyangkut moral sosial, seperti etika sosial, moral bersama dan kontrol.